Jumat, 28 Juni 2013

Sahabatku..

Bissmillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Sahabatku.. jika saja di hari ini ada jiwa yang tengah menggigil digigit sunyi maka izinkanlah sejenak saja deretan kata sederhanaku mengetuk hati dan mengalir memasuki jiwamu, menggugah dan mengalihkan keluhan yang sempat terlintas di langit hatimu dan mengubahnya menjadi untaian syukur, agar kita senantiasa berada dalam ridhoNya.

Wahai jiwa-jiwa yang tenang.. "Jangan 'kesendirian' membuatmu khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain tentang pilihanmu". Segera perbarui lagi niatmu, teguhkan kembali dan katakanlah bahwa kesendirian itu adalah cerminan ketangguhan...dan kemenangan dalam memerangi gelora nafsu di dadamu...

Katakan dengan lantang "Aku bahagia melihat iblis tidak lagi memiliki celah untuk menjerumuskanku..". Agar kamu bahagia dalam kesendirianmu, sebelum pilihan Allah menemuimu di ujung yang pasti nanti. Agar kesendirian itu tidak sia-sia.. tidak kosong.. agar kesendirian itu penuh makna.. dalam rangka terus mendekatkan diri kepada Allah yang telah menebarkan cintaNya di hati-hati manusia, dalam gerimis dan kabut-kabut yang dihembus awan.

Pahamilah.. jika rasa dan kekecewaan yang membelit jiwamu itu masih berbekas dan menindih logikamu, segera ma'afkan dan relakan. Cinta yang sesungguhnya tidak akan membutakanmu, tidak akan membuat telingamu tuli. Tidak.. tidak akan pernah.

Cinta sejati adalah cinta yang senantiasa bersahutan.., berderu-deru dalam gemuruh ombak.., beriak di gelisah lautan.., diam dalam ketenangan.., indah dalam kesedihan.., nikmat dalam kekecewaan.. dan tidak mati dengan kematian.. Cinta yang akan tetap indah, dan berbalas meski terbagi miliyaran angka tak terbatas semesta.. Itulah cinta Allah, arahkan cinta kita untuk meraih cintaNya.

Aku tahu, sendiri itu tidaklah seindah syair-syair yang kulukis. Ada cerita tersembunyi dalam kesendirian yang tak siapapun mengingkari, ada iri, ada euphoria dan khawatir. Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya ingin menawarkan sebuah obat untuk kekecewaan itu. Obat sederhana, yang mungkin bosan terdengar di telingamu. Ya... kita sering mendengar "Ikhlaskanlah..", tapi telinga kita tuli, tidak mendengar atau sedikit saja memahami.

Ketahuilah, Allah telah menyediakan sepenggal kata ini untuk kita pahami. Ikhlas adalah obat yang sangat tepat bagi semua macam bentuk penyakit yang mengguncang tubuh maupun jiwa termasuk kegagalan dan segala bentuk kekecewaan, bahkan kematian..

Maafkanlah, relakanlah dan arahkan kembali cinta itu. Karena belum tentu, saat cinta manusia yang kamu kagumi itu akan melahirkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika Allah mencintaimu.

Dari kesemua itu pesanku adalah "Jangan sampai kesendirianmu membuatmu bersedih atau khawatir, padahal kamulah orang orang yang benar dan berhati hati dalam mengarungi masa muda ini." Bangkit.. bangkitlah.. sayangi tubuhmu, sayangi hatimu. Tidak ada yang akan lebih peduli selain dirimu. Bangkitlah.. segera temui Rabbmu di sana. Jangan biarkan airmata mengering di wajahmu, segera basuh dengan air wudhu. Kita masih merasa beruntung memiliki tempat mengadu dari segala kegelisahan. Dalam shalat, benamkan wajahmu segera..!

Demikianlah sahabatku.. semoga renungan ini bermanfaat. Akhirnya
tulisan inipun kuakhiri dengan serinai SENYUM terkembang untukmu...

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh

Selasa, 26 Maret 2013

Kisah Muthi'ah

Kisah “Muthi’ah”, Istri Solehah di zaman Rosulullah
 
"Siti Muthi'ah"
"FATIMAH anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan istri yang dicintai suami?" tanya sang ayah yang tak lain adalah Nabi SAW. "Tentu saja, wahai ayahku"
"Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya. Namanya Siti Muthi'ah. Temuilah dia, teladani budi pekertinya yang baik itu".
Gerangan amal apakah yang dilakukan Siti Muthi'ah sehingga Rasulpun memujinya sebagai perempuan teladan? Maka bergegaslah Fatimah menuju rumah Muthi'ah dengan mengajak serta Hasan, putra Fatimah yang masih kecil itu.
Begitu gembira Muthi'ah mengetahui tamunya adalah putri Nabi besar itu. "Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fatimah. Namun maafkanlah aku sahabatku, suamiku telah beramanat, aku tidak boleh menerima tamu lelaki dirumah ini."
"Ini Hasan putraku sendiri, ia kan masih anak-anak." kata Fatimah sambil tersenyum.
"Namun sekali lagi maafkanlah aku, aku tak ingin mengecewakan suamiku, Fatimah."
Fatimah mulai merasakan keutamaan Siti Muthi'ah Ia semakin kagum dan berhasrat menyelami lebih dalam akhlak wanita ini. Lalu diantarlah Hasan pulang dan bergegaslah Fatimah kembali ke Muthi'ah.
"Aku jadi berdebar-debar," sambut Siti Muthi'ah, gerangan apakah yang membuatmu begitu ingin kerumahku, wahai puteri Nabi?"
"Memang benarlah, Muthi'ah. Ada berita gembira buatmu dan ayahku sendirilah yang menyuruhku kesini. Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah wanita berbudi sangat baik, karena itulah aku kesini untuk meneladanimu, Wahai Muthi'ah."
Muthi'ah gembira mendengar ucapan Fatimah, namun Muthi'ah masih ragu. "Engkau bercanda sahabatku? aku ini wanita biasa yang tidak punya keistimewaan apapun seperti yang engkau lihat sendiri."
"Aku tidak berbohong wahai Muthi'ah, karenanya ceritakan kepadaku agar aku bisa meneladaninya." Siti Muthi'ah terdiam, hening. Lalu tanpa sengaja Fatimah melihat sehelai kain kecil, kipas dan sebilah rotan di ruangan kecil itu.
"Buat apa ketiga benda ini Muthi'ah" Siti Muthi'ah tersenyam malu. Namun setelah didesak iapun bercerita. "Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya. Iapun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas"
"Sungguh luar biasa pekertimu, Muthi'ah. Lalu untuk apa rotan ini?"
Kemudian aku berpakaian semenarik mungkin untuknya. Setelah ia bangun dan mandi, kusiapkan pula makan dan minum untuknya. Setelah semua selesai, aku berkata kepadanya: "Oh, kakanda. Bilamana pelayananku sebagai istri dan masakanku tidak berkenan dihatimu, aku ikhlas menerima hukuman. Pukullah badanku dengan rotan ini dan sebutlah kesalahanku agar tidak kuulangi"
"Seringkah engkau dipukul olehnya, wahai Muthi'ah?" tanya Fatimah berdebar-debar.
"Tidak pernah, Fatimah. Bukan rotan yang diambilnya, justru akulah yang ditarik dan didekapnya penuh kemesraan. Itulah kebahagiaan kami sehari-hari".
"Jika demikian, sungguh luar biasa, wahai Muthi'ah. Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fatimah terkagum-kagum.

Pemilu 2019 Di Desa Simpur Kab. HSS

Hari ini Rabu, 17 April 2019... Pertama kalinya dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pemilu dilaksanakan serentak memilih...